Persembahan Cinta Untuk Istriku
Enam kali enam meter, berdinding
bilik. Di depan, ada kursi memanjang dan sedikit lebar. Kursi serbaguna yang
biasanya dipakai pemilik merebahkan tubuh menghabiskan sore dan menerima tamu.
Sepasang suami-istri berusia 72-65 tahun tinggal di sana. Sudah tiga tahun sang
istri tak dapat beranjak dari kasurnya. Ia terkena diabetes. Penyakit itu
semakin menjadi karena tak mendapat perawatan yang seharusnya. Suaminya tak
dapat berbuat apa-apa selain merawatnya. Ia sudah renta. Lagi-lagi tak punya
anak. Uang pesangon sebagai satpam di pabrik gula 12 tahun yang lalu sudah tak
tersisa. Ia hanya mengandalkan makanan kiriman warga untuk memenuhi kebutuhan
perut. Kalau tubuhnya tak kepayahan, ia pergi merumput. Lalu menjualnya ke
penduduk yang memelihara sapi ataupun kambing.
Pukul
lima pagi ia bangun. Menimba air di sumur, lalu ia masak di atas tungku kayu.
Kayunya sudah menipis. Siang nanti ia harus mengais ranting-ranting di hutan
lagi. Ia duduk di dingklik kayu di
samping tungku. Memandang kosong ke arah air yang tak juga mendidih. Apalagi
yang akan dilakukan seorang laki-laki renta sepertinya. Tubuhnya sudah tak
sekuat 10-20 tahun yang lalu.
Air
yang ia tunggu akhirnya mendidih juga. Ia sisihkan segelas untuk dijadikannya wedang gula. Ia tak lagi mampu membeli
susu, kopi, dan teh. Gula pun ia peroleh dari warga yang biasanya mengiriminya
makanan.
Ia
memandikan istrinya dengan air hangat. Lalu mengganti bajunya. Berikutnya
menimba air lagi untuk mencuci baju-baju kotornya dan istrinya. Ia lalu
beranjak ke kursi depan. Menunggu makanan kiriman warga. Istrinya pasti sudah
lapar. Dua jam menunggu tidak juga ada yang datang. Ia memutuskan menyuapi
istrinya dengan makanan sisa kemarin. Ia selalu menyisakan makanan untuk
keesokan harinya untuk berjaga-jaga kalau tidak ada warga yang datang mengirimi
makanan. Atau sekedar berjaga-jaga kalau kiriman datang terlambat, sementara
perut sudah tak kuasa menahan lapar.
Istrinya
tersenyum melihatnya masuk rumah. Kamar mereka memang tidak punya sekat. Hanya
dapur yang tampak terpisah dari ruangan lainnya. Ia duduk di samping istrinya.
“Ibu sudah lapar?” tanyanya pelan sekali. “Belum. Makanan sisa kemarin bapak
saja yang makan”, jawab istrinya tak kalah lirih. “Aku masih belum lapar. Aku
suapkan padamu saja ya”, timpalnya sembari berdiri.
Sore
harinya, seorang warga mengiriminya makanan. Betapa leganya ia. Perutnya yang
sedari pagi tadi keroncongan akhirnya dapat ia isi juga. Apalagi istrinya juga
pasti sudah lapar lagi. Tamunya hanya mengajaknya mengobrol sebentar. Mungkin
tamunya mendengar suara perutnya yang terus saja protes.
Pagi,
siang, sore, malam, tak ada bedanya. Ia tetap berdua dengan istrinya yang
terbaring di kasur. Hidupnya sesepi gua yang tertimbun tanah. Lewat pukul tujuh
ia membaringkan badan di sebelah istrinya. Lalu memejamkan mata hingga esok
hari.
Hari-hari
selanjutnya tak jauh berbeda. Sedikit bervariasi dengan merumput pada pagi
setelah mencuci hingga siang hari. Uang yang ia peroleh dari merumput
berhari-hari, ia belikan obat istrinya. Memang tidak cukup. Ia hanya membeli
separuh dari resep dokter.
Malamnya,
saat ia baru saja merebahkan badannya di samping istrinya, istrinya mengajaknya
berbicara.
“Bapak pasti kelelahan. Sudah
tiga tahun istrimu ini hanya menyusahkanmu saja”
“Kamu bicara apa toh? Sudah menjadi kewajibanku menjaga
istriku.”
“Tiga tahun, pak. Aku sudah
capek. Apalagi bapak, pasti sangat capek.”
“Sudahlah. Kamu tidur saja.”
“Setiap hari aku berdo’a supaya
cepat mati, tapi Tuhan belum juga mengabulkannya.”
Ia hanya diam mendengar kalimat
istrinya. Ia berpura-pura memejamkan mata. Tak ada lagi yang sanggup ia
katakan.
Paginya ia bangun pada jam seperti
biasanya. Istrinya sudah bangun lebih dahulu. Ia beranjak tanpa mengucapkan
apapun. Perkataan istrinya pada malam kemarin masih lekat di telinganya. Ia tak
mau mengingatnya, tapi entah setan macam apa yang terus membisikkannya dengan
jelas di telinga. Ia menyibukkan diri dengan merumput hingga sore hari. Setelah
pulang ke rumah, kalimat itu kembali terngiang.
Sore itu mendung. Setelah mandi,
ia berbaring di kursi depan rumah. Hujan tampaknya akan turun sebentar lagi. Ia
melamun. Tak menyadari gerimis mulai turun. Kemudian disusul hujan yang sedikit
deras. Ia lupa bahwa atap di atas kamarnya bocor. Segera ia setengah berlari ke
dalam rumah. Ia bingung dan marah pada dirinya sendiri ketika mendapati setengah
badan istrinya basah. Ia bopong istrinya lalu ia dudukkan di kursi, serupa kursi
depan rumah. Istrinya hanya tersenyum, lalu berkata, “Aku baik-baik saja”
Ia memindahkan kasur ke seberang
ruangan. Separuh kasur itu basah. Lalu ia bopong istrinya ke kasur dan
meletakkannya pada bagian yang tak basah. Setelah itu, ia duduk di kursi. Diam
dan menunduk dalam beberapa lama.
“Kenapa kamu tidak berteriak
tadi?”
“Aku kira bapak sedang tidur.”
“Lain kali teriak saja kalau
membutuhkan bantuanku.”
“Tidak apa-apa, pak”
Hingga malam hujan masih
menyelimuti. Mungkin akan sampai pagi. Ia mencari kain-kain yang dapat
dijadikan selimut untuk istrinya. Setelah menyelimuti istrinya, ia merebahkan
badan di kursi. Istrinya memaksa untuk menyuruhnya mengambil salah satu kain
untuk dirinya sendiri, ia sudah berkeras tak mau mengambilnya, tetapi istrinya
terus saja memaksa.
Mereka sama-sama sibuk dengan
kekalutan pikiran masing-masing. Suara hujan malam itu seakan menambah
kesunyian.
“Aku ingin segera mati. Aku tak
bisa melihat bapak terus tersiksa. Merawatku setiap hari saja sudah melelahkan.
Memandikanku, membersihkan kotoranku, menyuapiku, mencuci bajuku. Apalagi masih
harus mencari rumput untuk membeli obatku. Tapi Tuhan belum mengabulkannya. Dan
aku tak mau menodai bapak dengan memohon untuk membunuhku. Meskipun aku sangat
menginginkannya.” Sejenak terdiam kemudian ia sambung kembali kalimatnya.
“Bangun di pagi hari dengan masih
bernafas dan kelopak mata yang masih bisa terbuka, membuatku sangat tersiksa.
Aku ingin cepat mati, meski aku juga masih ingin melihat wajah bapak.”
Ia diam saja. Ia berpura-pura tak
mendengar perkataan istrinya. Ia tahu istrinya pasti sudah menitikkan air
matanya pada kalimatnya yang terakhir. Ia masih terjaga meski ia memejamkan
mata. Ia ingin membendung air matanya. Air mata istrinya saja sudah cukup untuk
meratapi kehidupan mereka.
Pagi setelah ia menyelesaikan
rutinitas, ia pergi hutan. Mencari kayu dan rumput. Sore hari ia baru pulang ke
rumah dalam keadaan sangat lelah dan ingin sekali membaringkan badan. Baru saja
ia menaruh kayu dan rumputnya di depan rumah. Ia mencium bau tak sedap dari
dalam rumah. Bergegas ia masuk. Ia sangat kaget ketika mendapati istrinya tak
ada di atas kasur. Istrinya terbaring di tanah di samping kiri kasur. Ia
berlari menuju istrinya lalu membopongnya ke kasur. Ia lupa kalau tadi pagi
istrinya tidak buang air besar. Sehingga ia pun lupa untuk pulang di siang hari
untuk mengecek apakah istrinya sudah buang air besar.
“Aku tadi buang air besar. Tapi
bapak masih di luar tadi. Aku mencoba mengambil kain di kursi untuk
membersihkan kotoranku. Tapi aku malah terjatuh. Aku mencoba berdiri
berkali-kali, tapi tak bisa”
“Maafkan aku”
“Kamu tidak salah. Kamu pergi ke
hutan juga untuk memenuhi kebutuhanku. Kamu tidak mungkin menungguiku seharian
penuh”
Ia diam. Beranjak mengambil air
dan baju ganti untuk istrinya. Ia membasuh badan istrinya dengan perasaan
bersalah. Saat seperti itu, begitu keras kalimat istrinya pada malam-malam itu
mengiang di telinganya. Setelah selesai memandikan dan mengganti bajunya, ia
pun beranjak mandi membasuh badannya yang masih berbalut keringat dan tanah.
Ia harap air yang membasuh
badannya akan turut menghanyutkan kalimat istrinya tentang keinginannya. Namun
ternyata kalimat itu memang sama sekali tidak bersahabat. Mencuatkan
pikiran-pikiran setan yang terus mengalir. Ia dipenuhi kekalutan luar biasa.
Haruskah ia membunuh istrinya untuk mengakhiri penderitaannya? Relakah istrinya
ia mati dibunuh suaminya sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan itu
bertalian rumit di kepalanya. Setelah mandi ia lihat istrinya tengah tertidur.
Pikirannya bergegas mengusulkan bahwa saat itulah saat yang paling tepat. Ia
ragu, tapi ia pun sudah tidak tahan dengan penderitaan ini.
Ia letakkan handuknya begitu
saja. Ia mengambil sebongkah batu agak besar di belakang rumah. Lalu ia duduk
di samping istrinya. Istrinya tidur sangat lelap hingga tak terbangun karena
gerakan suaminya. Ia belai kepala istrinya yang dibalut kain tipis. Ia belai
wajahnya. Lalu mencium dahinya. Ia lakukan semua itu seakan sebagai salam
perpisahan. Perlahan, ia mengambil sebongkah kayu yang ia letakkan di samping
kakinya. Ia ayunkan batu itu ke atas kepalanya. Hendak ia pukulkan ke kepala
istrinya. Namun masih tertahan. Ia ragu.
Secepat kilat kalimat-kalimat
istrinya mengiang kembali. Do’anya untuk segera mati. Keinginannya untuk segera
mengakhiri penderitaannya maupun suaminya. Ia menitikkan air mata mengingat itu
semua. Kemarahan meluap begitu saja sesaat setelah air mata itu jatuh. Ia ayun
batu itu keras mengenai kepala istrinya.
Ia tak tahu apakah istrinya sudah
meninggal atau tidak. Ia mengambil kain-kain di dalam lemari. Ia bungkus
istrinya. Ia gali tanah di belakang rumahnya lalu menguburkan istrinya di sana.
Ia merebahkan tubuhnya. Ia
menangis mengenang istrinya tidur di kasur itu. Ia bergetar. Seluruh tubuhnya
bergetar karena tangis, ketakutan, kekecewaan, dan ketupus-asaan yang mendalam.
***
Ia
duduk di kursi di tengah ruangan itu. Di depannya hakim menatapnya dengan
benci. Di belakang samping kanan-kirinya, orang-orang menatapnya dengan jijik
dan benci. Beberapa hari setelah ia mengubur istrinya, warga curiga karena tak
melihat istrinya di rumahnya. Kecurigaan warga kian menjadi saat ia hanya diam
saja ketika ditanya mengenai keberadaan istrinya. Lalu warga melaporkan hal
tersebut pada polisi. Setelah digeledah, polisi menemukan mayat istrinya yang
dikubur di belakang rumah.
Palu
sidang dipukul. Ia terjerat pasal 340, 338, 35, dan pasal 181 KUHP tentang
pembunuhan berencana dan penyembunyian mayat. Ia dihukum penjara seumur hidup.
Suara-suara lega disertai cacian menyusul setelahnya. Beberapa bahkan berteriak
memakinya.
Di
kursi itu ia hanya menunduk. Ia tahu, ia maupun istrinya menginginkan kematian
itu.
BERITA
Dikira Meninggal, Kakek Kubur Istri di Pekarangan
TEMPO.CO, Kediri--
Seorang kakek di Kecamatan Ngadiluwih, Kediri ditangkap polisi setelah mengubur
istrinya di belakang rumah. Selain tak diketahui penyebab kematiannya,
penguburan itu juga dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan tetangga.
Kepala Unit
Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Ngadiluwih Ajun Inspektur Satu Sarwo Edi
mengatakan polisi telah menangkap Trimo, 72, warga Desa Tales, Kecamatan
Ngadiluwih, Kamis siang 29 Maret 2012.
Setelah melalui
pemeriksaan beberapa hari, Trimo akhirnya ditetapkan sebagai tersangka
pembunuhan atas istrinya, Simyati, 74. "Dia mengakui mengubur istrinya di
belakang rumah," kata Edi, Kamis, 29 Maret 2012.
Kepada polisi,
Trimo mengaku mengubur istrinya di pekarangan rumah setelah menduganya
meninggal. Selama tiga tahun terakhir, Simyati menderita sakit diabetes dan
terbaring di ranjang di rumah mereka. Tak ada yang merawat nenek tua itu selain
Trimo.
Pada 26 Maret 2012
atau tiga hari lalu, sang istri terlihat lemas. Trimo yang menduga istrinya
meninggal dunia segera membungkusnya dengan kain kafan. Bukannya memanggil
warga atau perangkat desa setempat, mantan satpam itu justru menggali tanah di
belakang rumahnya. Selanjutnya dia membopong istrinya dan menguburkannya di
tempat itu.
Kecurigaan warga
membuncah ketika keesokan harinya Trimo meminta surat kematian kepada perangkat
desa. Kepada perangkat, dia mengatakan jenasah istrinya telah dilarung alias
dihanyutkan ke sungai di daerah Jawa Tengah. "Dia berdalih hal itu wasiat
istrinya," kata Edi.
Namun warga mencurigai
gundukan tanah di belakang rumah Trimo. Setelah dilaporkan polisi dan
dibongkar, terkuaklah penguburan itu. Apalagi polisi juga menemukan bekas luka
memar di kepala Simyati yang diduga bekas pukulan benda tumpul.
Meski menemukan
bukti penganiayaan, polisi cukup kesulitan mencari keterlibatan Trimo. Sebab
kakek ini terus membantah telah membunuh istrinya. Bahkan dia bersumpah sangat
menyayangi istrinya yang telah membantu mencarikan pekerjaan sebagai satpam di
pabrik gula. "Saya juga yang menyuapi dan memandikannya," kata Trimo.
Celakanya, Trimo
tidak benar-benar mengetahui kondisi istrinya apakah sudah mati atau belum saat
membungkus dan menguburkannya. Yang dia ketahui hanyalah istrinya lemas dan tak
bergerak saat dibangunkan.
Atas perbuatan tersebut,
polisi menjerat Trimo dengan pasal 340, 338, 35, dan pasal 181 KUHP tentang
pembunuhan berencana dan penyembunyian mayat. Dengan pasal berlapis tersebut,
Trimo terancam menghabiskan sisa umurnya di balik jeruji.
HARI TRI WASONO
http://id.berita.yahoo.com/dikira-meninggal-kakek-kubur-istri-di-pekarangan-120729229.html
cerpen dibuat oleh (3351) Achmad Imam M. / Uying
cerpen dibuat oleh (3351) Achmad Imam M. / Uying
No comments:
Post a Comment
Silahan memberikan komentar