January 31, 2013

Persembahan Cinta Untuk Istriku


Persembahan Cinta Untuk Istriku

Enam kali enam meter, berdinding bilik. Di depan, ada kursi memanjang dan sedikit lebar. Kursi serbaguna yang biasanya dipakai pemilik merebahkan tubuh menghabiskan sore dan menerima tamu. Sepasang suami-istri berusia 72-65 tahun tinggal di sana. Sudah tiga tahun sang istri tak dapat beranjak dari kasurnya. Ia terkena diabetes. Penyakit itu semakin menjadi karena tak mendapat perawatan yang seharusnya. Suaminya tak dapat berbuat apa-apa selain merawatnya. Ia sudah renta. Lagi-lagi tak punya anak. Uang pesangon sebagai satpam di pabrik gula 12 tahun yang lalu sudah tak tersisa. Ia hanya mengandalkan makanan kiriman warga untuk memenuhi kebutuhan perut. Kalau tubuhnya tak kepayahan, ia pergi merumput. Lalu menjualnya ke penduduk yang memelihara sapi ataupun kambing.
                Pukul lima pagi ia bangun. Menimba air di sumur, lalu ia masak di atas tungku kayu. Kayunya sudah menipis. Siang nanti ia harus mengais ranting-ranting di hutan lagi. Ia duduk di dingklik kayu di samping tungku. Memandang kosong ke arah air yang tak juga mendidih. Apalagi yang akan dilakukan seorang laki-laki renta sepertinya. Tubuhnya sudah tak sekuat 10-20 tahun yang lalu.
                Air yang ia tunggu akhirnya mendidih juga. Ia sisihkan segelas untuk dijadikannya wedang gula. Ia tak lagi mampu membeli susu, kopi, dan teh. Gula pun ia peroleh dari warga yang biasanya mengiriminya makanan.
                Ia memandikan istrinya dengan air hangat. Lalu mengganti bajunya. Berikutnya menimba air lagi untuk mencuci baju-baju kotornya dan istrinya. Ia lalu beranjak ke kursi depan. Menunggu makanan kiriman warga. Istrinya pasti sudah lapar. Dua jam menunggu tidak juga ada yang datang. Ia memutuskan menyuapi istrinya dengan makanan sisa kemarin. Ia selalu menyisakan makanan untuk keesokan harinya untuk berjaga-jaga kalau tidak ada warga yang datang mengirimi makanan. Atau sekedar berjaga-jaga kalau kiriman datang terlambat, sementara perut sudah tak kuasa menahan lapar.
                Istrinya tersenyum melihatnya masuk rumah. Kamar mereka memang tidak punya sekat. Hanya dapur yang tampak terpisah dari ruangan lainnya. Ia duduk di samping istrinya. “Ibu sudah lapar?” tanyanya pelan sekali. “Belum. Makanan sisa kemarin bapak saja yang makan”, jawab istrinya tak kalah lirih. “Aku masih belum lapar. Aku suapkan padamu saja ya”, timpalnya sembari berdiri.
                Sore harinya, seorang warga mengiriminya makanan. Betapa leganya ia. Perutnya yang sedari pagi tadi keroncongan akhirnya dapat ia isi juga. Apalagi istrinya juga pasti sudah lapar lagi. Tamunya hanya mengajaknya mengobrol sebentar. Mungkin tamunya mendengar suara perutnya yang terus saja protes.
                Pagi, siang, sore, malam, tak ada bedanya. Ia tetap berdua dengan istrinya yang terbaring di kasur. Hidupnya sesepi gua yang tertimbun tanah. Lewat pukul tujuh ia membaringkan badan di sebelah istrinya. Lalu memejamkan mata hingga esok hari.
                Hari-hari selanjutnya tak jauh berbeda. Sedikit bervariasi dengan merumput pada pagi setelah mencuci hingga siang hari. Uang yang ia peroleh dari merumput berhari-hari, ia belikan obat istrinya. Memang tidak cukup. Ia hanya membeli separuh dari resep dokter.
                Malamnya, saat ia baru saja merebahkan badannya di samping istrinya, istrinya mengajaknya berbicara.
“Bapak pasti kelelahan. Sudah tiga tahun istrimu ini hanya menyusahkanmu saja”
“Kamu bicara apa toh? Sudah menjadi kewajibanku menjaga istriku.”
“Tiga tahun, pak. Aku sudah capek. Apalagi bapak, pasti sangat capek.”
“Sudahlah. Kamu tidur saja.”
“Setiap hari aku berdo’a supaya cepat mati, tapi Tuhan belum juga mengabulkannya.”
Ia hanya diam mendengar kalimat istrinya. Ia berpura-pura memejamkan mata. Tak ada lagi yang sanggup ia katakan.
Paginya ia bangun pada jam seperti biasanya. Istrinya sudah bangun lebih dahulu. Ia beranjak tanpa mengucapkan apapun. Perkataan istrinya pada malam kemarin masih lekat di telinganya. Ia tak mau mengingatnya, tapi entah setan macam apa yang terus membisikkannya dengan jelas di telinga. Ia menyibukkan diri dengan merumput hingga sore hari. Setelah pulang ke rumah, kalimat itu kembali terngiang.
Sore itu mendung. Setelah mandi, ia berbaring di kursi depan rumah. Hujan tampaknya akan turun sebentar lagi. Ia melamun. Tak menyadari gerimis mulai turun. Kemudian disusul hujan yang sedikit deras. Ia lupa bahwa atap di atas kamarnya bocor. Segera ia setengah berlari ke dalam rumah. Ia bingung dan marah pada dirinya sendiri ketika mendapati setengah badan istrinya basah. Ia bopong istrinya lalu ia dudukkan di kursi, serupa kursi depan rumah. Istrinya hanya tersenyum, lalu berkata, “Aku baik-baik saja”
Ia memindahkan kasur ke seberang ruangan. Separuh kasur itu basah. Lalu ia bopong istrinya ke kasur dan meletakkannya pada bagian yang tak basah. Setelah itu, ia duduk di kursi. Diam dan menunduk dalam beberapa lama.
“Kenapa kamu tidak berteriak tadi?”
“Aku kira bapak sedang tidur.”
“Lain kali teriak saja kalau membutuhkan bantuanku.”
“Tidak apa-apa, pak”
Hingga malam hujan masih menyelimuti. Mungkin akan sampai pagi. Ia mencari kain-kain yang dapat dijadikan selimut untuk istrinya. Setelah menyelimuti istrinya, ia merebahkan badan di kursi. Istrinya memaksa untuk menyuruhnya mengambil salah satu kain untuk dirinya sendiri, ia sudah berkeras tak mau mengambilnya, tetapi istrinya terus saja memaksa.
Mereka sama-sama sibuk dengan kekalutan pikiran masing-masing. Suara hujan malam itu seakan menambah kesunyian.
“Aku ingin segera mati. Aku tak bisa melihat bapak terus tersiksa. Merawatku setiap hari saja sudah melelahkan. Memandikanku, membersihkan kotoranku, menyuapiku, mencuci bajuku. Apalagi masih harus mencari rumput untuk membeli obatku. Tapi Tuhan belum mengabulkannya. Dan aku tak mau menodai bapak dengan memohon untuk membunuhku. Meskipun aku sangat menginginkannya.” Sejenak terdiam kemudian ia sambung kembali kalimatnya.
“Bangun di pagi hari dengan masih bernafas dan kelopak mata yang masih bisa terbuka, membuatku sangat tersiksa. Aku ingin cepat mati, meski aku juga masih ingin melihat wajah bapak.”
Ia diam saja. Ia berpura-pura tak mendengar perkataan istrinya. Ia tahu istrinya pasti sudah menitikkan air matanya pada kalimatnya yang terakhir. Ia masih terjaga meski ia memejamkan mata. Ia ingin membendung air matanya. Air mata istrinya saja sudah cukup untuk meratapi kehidupan mereka.
Pagi setelah ia menyelesaikan rutinitas, ia pergi hutan. Mencari kayu dan rumput. Sore hari ia baru pulang ke rumah dalam keadaan sangat lelah dan ingin sekali membaringkan badan. Baru saja ia menaruh kayu dan rumputnya di depan rumah. Ia mencium bau tak sedap dari dalam rumah. Bergegas ia masuk. Ia sangat kaget ketika mendapati istrinya tak ada di atas kasur. Istrinya terbaring di tanah di samping kiri kasur. Ia berlari menuju istrinya lalu membopongnya ke kasur. Ia lupa kalau tadi pagi istrinya tidak buang air besar. Sehingga ia pun lupa untuk pulang di siang hari untuk mengecek apakah istrinya sudah buang air besar.
“Aku tadi buang air besar. Tapi bapak masih di luar tadi. Aku mencoba mengambil kain di kursi untuk membersihkan kotoranku. Tapi aku malah terjatuh. Aku mencoba berdiri berkali-kali, tapi tak bisa”
“Maafkan aku”
“Kamu tidak salah. Kamu pergi ke hutan juga untuk memenuhi kebutuhanku. Kamu tidak mungkin menungguiku seharian penuh”
Ia diam. Beranjak mengambil air dan baju ganti untuk istrinya. Ia membasuh badan istrinya dengan perasaan bersalah. Saat seperti itu, begitu keras kalimat istrinya pada malam-malam itu mengiang di telinganya. Setelah selesai memandikan dan mengganti bajunya, ia pun beranjak mandi membasuh badannya yang masih berbalut keringat dan tanah.
Ia harap air yang membasuh badannya akan turut menghanyutkan kalimat istrinya tentang keinginannya. Namun ternyata kalimat itu memang sama sekali tidak bersahabat. Mencuatkan pikiran-pikiran setan yang terus mengalir. Ia dipenuhi kekalutan luar biasa. Haruskah ia membunuh istrinya untuk mengakhiri penderitaannya? Relakah istrinya ia mati dibunuh suaminya sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan itu bertalian rumit di kepalanya. Setelah mandi ia lihat istrinya tengah tertidur. Pikirannya bergegas mengusulkan bahwa saat itulah saat yang paling tepat. Ia ragu, tapi ia pun sudah tidak tahan dengan penderitaan ini.
Ia letakkan handuknya begitu saja. Ia mengambil sebongkah batu agak besar di belakang rumah. Lalu ia duduk di samping istrinya. Istrinya tidur sangat lelap hingga tak terbangun karena gerakan suaminya. Ia belai kepala istrinya yang dibalut kain tipis. Ia belai wajahnya. Lalu mencium dahinya. Ia lakukan semua itu seakan sebagai salam perpisahan. Perlahan, ia mengambil sebongkah kayu yang ia letakkan di samping kakinya. Ia ayunkan batu itu ke atas kepalanya. Hendak ia pukulkan ke kepala istrinya. Namun masih tertahan. Ia ragu.
Secepat kilat kalimat-kalimat istrinya mengiang kembali. Do’anya untuk segera mati. Keinginannya untuk segera mengakhiri penderitaannya maupun suaminya. Ia menitikkan air mata mengingat itu semua. Kemarahan meluap begitu saja sesaat setelah air mata itu jatuh. Ia ayun batu itu keras mengenai kepala istrinya.
Ia tak tahu apakah istrinya sudah meninggal atau tidak. Ia mengambil kain-kain di dalam lemari. Ia bungkus istrinya. Ia gali tanah di belakang rumahnya lalu menguburkan istrinya di sana.
Ia merebahkan tubuhnya. Ia menangis mengenang istrinya tidur di kasur itu. Ia bergetar. Seluruh tubuhnya bergetar karena tangis, ketakutan, kekecewaan, dan ketupus-asaan yang mendalam.
***
                Ia duduk di kursi di tengah ruangan itu. Di depannya hakim menatapnya dengan benci. Di belakang samping kanan-kirinya, orang-orang menatapnya dengan jijik dan benci. Beberapa hari setelah ia mengubur istrinya, warga curiga karena tak melihat istrinya di rumahnya. Kecurigaan warga kian menjadi saat ia hanya diam saja ketika ditanya mengenai keberadaan istrinya. Lalu warga melaporkan hal tersebut pada polisi. Setelah digeledah, polisi menemukan mayat istrinya yang dikubur di belakang rumah.
                Palu sidang dipukul. Ia terjerat pasal 340, 338, 35, dan pasal 181 KUHP tentang pembunuhan berencana dan penyembunyian mayat. Ia dihukum penjara seumur hidup. Suara-suara lega disertai cacian menyusul setelahnya. Beberapa bahkan berteriak memakinya.
                Di kursi itu ia hanya menunduk. Ia tahu, ia maupun istrinya menginginkan kematian itu.



BERITA
Dikira Meninggal, Kakek Kubur Istri di Pekarangan
TEMPO.CO, Kediri-- Seorang kakek di Kecamatan Ngadiluwih, Kediri ditangkap polisi setelah mengubur istrinya di belakang rumah. Selain tak diketahui penyebab kematiannya, penguburan itu juga dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan tetangga.
Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Ngadiluwih Ajun Inspektur Satu Sarwo Edi mengatakan polisi telah menangkap Trimo, 72, warga Desa Tales, Kecamatan Ngadiluwih, Kamis siang 29 Maret 2012.
Setelah melalui pemeriksaan beberapa hari, Trimo akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan atas istrinya, Simyati, 74. "Dia mengakui mengubur istrinya di belakang rumah," kata Edi, Kamis, 29 Maret 2012.
Kepada polisi, Trimo mengaku mengubur istrinya di pekarangan rumah setelah menduganya meninggal. Selama tiga tahun terakhir, Simyati menderita sakit diabetes dan terbaring di ranjang di rumah mereka. Tak ada yang merawat nenek tua itu selain Trimo.
Pada 26 Maret 2012 atau tiga hari lalu, sang istri terlihat lemas. Trimo yang menduga istrinya meninggal dunia segera membungkusnya dengan kain kafan. Bukannya memanggil warga atau perangkat desa setempat, mantan satpam itu justru menggali tanah di belakang rumahnya. Selanjutnya dia membopong istrinya dan menguburkannya di tempat itu.
Kecurigaan warga membuncah ketika keesokan harinya Trimo meminta surat kematian kepada perangkat desa. Kepada perangkat, dia mengatakan jenasah istrinya telah dilarung alias dihanyutkan ke sungai di daerah Jawa Tengah. "Dia berdalih hal itu wasiat istrinya," kata Edi.
Namun warga mencurigai gundukan tanah di belakang rumah Trimo. Setelah dilaporkan polisi dan dibongkar, terkuaklah penguburan itu. Apalagi polisi juga menemukan bekas luka memar di kepala Simyati yang diduga bekas pukulan benda tumpul.

Meski menemukan bukti penganiayaan, polisi cukup kesulitan mencari keterlibatan Trimo. Sebab kakek ini terus membantah telah membunuh istrinya. Bahkan dia bersumpah sangat menyayangi istrinya yang telah membantu mencarikan pekerjaan sebagai satpam di pabrik gula. "Saya juga yang menyuapi dan memandikannya," kata Trimo.
Celakanya, Trimo tidak benar-benar mengetahui kondisi istrinya apakah sudah mati atau belum saat membungkus dan menguburkannya. Yang dia ketahui hanyalah istrinya lemas dan tak bergerak saat dibangunkan.
Atas perbuatan tersebut, polisi menjerat Trimo dengan pasal 340, 338, 35, dan pasal 181 KUHP tentang pembunuhan berencana dan penyembunyian mayat. Dengan pasal berlapis tersebut, Trimo terancam menghabiskan sisa umurnya di balik jeruji.

HARI TRI WASONO
http://id.berita.yahoo.com/dikira-meninggal-kakek-kubur-istri-di-pekarangan-120729229.html



cerpen dibuat oleh (3351)  Achmad Imam M. / Uying

No comments:

Post a Comment

Silahan memberikan komentar